NEWS24.CO.ID - Seorang wanita Eropa, RB, dan teman wanitanya tiba di Indonesia pada minggu terakhir tahun 2021 dan menjalani karantina wajib pelancong internasional di sebuah hotel di Jakarta Pusat yang ditunjuk untuk isolasi virus corona. Namun, kegembiraan berubah 180 derajat menjadi putus asa setelah mereka dinyatakan positif COVID-19.
Pada hari yang sama, mereka dipindahkan ke hotel isolasi virus corona di area yang sama. Namun, seorang pejabat kesehatan setempat mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus tinggal di kamar masing-masing karena mereka berdua tiba di Indonesia dengan penerbangan yang berbeda.
Read More : AHY Terpilih Kembali Jadi Ketum Demokrat, Perkuat Jalinan dengan Prabowo
Namun, sesampainya di hotel isolasi yang dimaksud, mereka ditawari satu kamar oleh pengelola hotel dengan harga lebih murah, yang bertentangan dengan apa yang mereka informasikan terkait regulasi COVID-19 di Indonesia. Mereka berdua akhirnya setuju untuk menerima tawaran itu setelah pihak hotel meyakinkan mereka.
"Tentu kami memilih opsi yang lebih murah dan memercayai tawaran mereka bahwa kami berdua bisa menginap di satu kamar," kata RB kepada Tempo, pekan lalu.
Pengelola hotel isolasi awalnya mematok harga Rp14 juta untuk isolasi hotel 10 hari di kamar yang disediakan untuk satu kamar, dan tagihannya bisa dibagi dengan temannya jika mereka tinggal di satu kamar. Pembayaran, kata pekerja hotel, dapat dilakukan pada akhir isolasi mereka dan setelah tes COVID-19 keluar negatif, dan mereka dapat check out sesudahnya.
Namun, karena RB dan temannya akhirnya dinyatakan negatif virus corona pada hari kesebelas masa inap mereka, pihak hotel menagih mereka masing-masing Rp12,7 juta. RB juga mengklaim bahwa mereka tidak diberikan dokumen resmi tentang peraturan pembayaran hotel, tetapi pihak hotel bersikeras bahwa tagihan harus dibayar.
Antara kelelahan dan kebingungan, dan tidak ingin memperburuk situasi, RB dan temannya membayar tagihan yang diberikan karena mereka khawatir administrator hotel akan memperpanjang masa tinggal mereka.
“Mungkin saya terlalu emosional untuk menyamakannya dengan disandera, itu berlebihan. Tapi saya benar-benar khawatir dan tidak nyaman selama saya tinggal di sana, ”katanya.
Fasilitas yang ditawarkan hotel, kata dia, membuat hotel isolasi menjadi tempat menginap yang tidak nyaman dan bahkan berbahaya. RB mengatakan kamar hotel memiliki perlengkapan mandi yang jauh dari layak, furnitur lama, sprei yang berlubang, dan toilet yang bau.
Dia juga mengatakan tidak jarang kucing dan tikus terlihat di sekitar kamar pasien. Dia juga takut penyakit lain yang ditularkan melalui hewan pengerat dan satwa liar lainnya.
RB mengatakan staf medis yang mengunjungi mereka setiap hari akan melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh tanpa mendisinfeksi ruangan dan peralatan kesehatan yang mereka bawa, yang dia khawatirkan hanya akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit.
“Secara keseluruhan, tempat itu tidak bersih,” kata RB. “Untuk tempat yang dimaksudkan untuk menampung pasien COVID-19, itu harus jauh lebih bersih.”
Tempo menemukan keluhan serupa dari seorang warga negara Amerika Serikat bernama JJ, yang dimulai begitu menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta pada akhir tahun lalu. Dia mengatakan dua tes PCR COVID-19 yang dia ambil di Amerika menunjukkan dia negatif tetapi menjadi positif dalam tes yang dia lakukan di bandara Indonesia.
JJ juga ingat dia harus menandatangani surat yang berisi 10 poin kesepakatan, salah satunya dia harus setuju untuk diekspos ke Omicron.
“Saya menolak menandatangani surat itu karena saya mungkin dites positif COVID-19, tetapi itu belum tentu Omicron. Saya meminta tes ulang independen, tetapi mereka mengatakan hal seperti itu tidak dilakukan di sini, ”kata JJ.
Dia lebih terkejut setelah salah satu petugas bandara mengundangnya untuk makan siang dan menawarkan untuk naik kendaraan yang sama dengannya. Untungnya, pejabat lain membuatnya tetap tinggal. JJ mengatakan dia dibawa ke hotel isolasi, bukan rumah sakit yang dijanjikan. Itu adalah hotel yang sama dengan tempat RB dan temannya menginap.
Kamar yang akhirnya ia tempati tidak lebih baik dari yang RB tinggali. Pancuran yang rusak hingga air yang berhenti mengalir membuatnya meminta ganti kamar. Namun, meski dipindahkan ke kamar lain ia merasa tidak aman untuk menginap di hotel tersebut.
Tak hanya itu, JJ mengklaim salah satu pasien COVID-19 bahkan menggelar pesta malam pergantian tahun dengan toko minuman keras hotel tetap buka dan bebas dikunjungi pengunjung hotel. Tidak hanya protokol kesehatan yang dilanggar, pelayanan yang diberikan oleh pekerja hotel pun jauh dari kata ramah.
“Pada hari ketujuh di sini, seorang pekerja muda yang mengantarkan makanan saya bahkan menolak untuk memberi saya air minum,” kata JJ.
Read More : Jaksa Ungkap Skandal Korupsi PT. Pertamina, Dirut Kedua Ditetapkan Tersangka
Koordinator Repatriasi Hotel Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Vivi Herlambang mengakui banyak keluhan terkait buruknya pelayanan hotel ini. Oleh karena itu, terhitung sejak Sabtu 8 Januari 2022 lalu, PHRI selaku koordinator hotel karantina dan isolasi di Indonesia langsung membekukan hotel tersebut dan melarangnya menerima tamu selama seminggu.
"Saya (hotel) diskors selama seminggu, dan tidak dapat menerima tamu. Masalahnya memang banyak keluhan dari tamu. Kami juga mengerti bagaimana keluhannya," kata Vivi kepada Tempo .
Menurut Vivi, dirinya sempat meragukan kualitas pelayanan di hotel tersebut. Namun, saat Omicron pertama kali terdeteksi di Indonesia pada awal Desember 2021, tidak ada satu pun hotel binaan PHRI yang bersedia menjadi hotel isolasi untuk pasien terkonfirmasi COVID-19.
Seiring bertambahnya jumlah kasus Omicron di Indonesia, PHRI semakin terdorong untuk mencari lebih banyak hotel karantina. Hotel khusus ini akhirnya ditawarkan karena milik pemerintah daerah.
"Saya mengerti mereka tidak sebagus hotel karantina yang saya periksa," kata Vivi.